Keharaman Mengangkat Dua orang pemimpin (Kholifah) sebagai kepala negara ditegaskan oleh Hadits Rosulullah Saw. :
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.(HR Muslim)[1]
Sanad Hadis
Hadis ini diriwayatkan Imam Muslim dari Wahab bin Baqiyyah al-Wasithi, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abi Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Abu Awanah[2] meriwayatkan hadis ini dari Abu Umayah, dari Amru bin Awn al-Wasithi, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Al-Baihaqi[3] meriwayatkannya dari dua jalur: Pertama: Dari Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin Ubaid ash-Shafar, dari Ibn Abi Qumasy, dari Amru bin Awn, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri. Kedua: Dari Abu Abdillah al-Hafizh, dari Abu Bakar bin Abdillah, dari Hasan bin Sufyan, dari Wahab bin Buqiyyah, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Al-Qadhai[4] meriwayatkannya dari Abu Muhammad Abd ar-Rahman bin Umar bin an-Nihas, dari Abu Said bin al-A‘rabi, dari Abu Ishaq Ibrahim bin al-Walid al-Jasyasy, dari Ali bin al-Madini, dari Abd ash-Shamad bin Abd al-Warits, dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Said bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah.
Makna Hadis dan Faedahnya
Hadis ini mengandung pengertian, jika dibaiat dua orang khalifah, maka orang yang dibaiat lebih akhir harus dibunuh. Baiat atas orang yang pertama haruslah baiat yang sah secara syar‘i. Orang kedua, baik ia mengetahui adanya baiat pertama yang sah itu ataupun tidak, disuruh menanggalkan baiatnya dan segera membaiat Khalifah yang sah itu. Jika ia menolak, kata as-Suyuthi, ia harus diperangi meski sampai ia harus dibunuh; kecuali jika ia mengumumkan pembatalan baiat atas dirinya, berhenti dari merobek kesatuan kaum Muslim dan memecah jamaah mereka, berhenti menentang khalifah yang sah, dan segera memberikan baiat taat kepadanya.
Hadis ini memerintahkan kesatuan Khilafah. Kaum Muslim hanya boleh memiliki seorang khalifah dan satu Khilafah. Haram diakadkan baiat kepada dua orang, apalagi lebih. Ibn Hazm[5] menuturkan, kaum Muslim di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam/khalifah, baik keduanya saling sepakat ataupun berselisih, di dua tempat berbeda atau di tempat yang sama. Imam an-Nawawi[6] berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”
Dari praktik pembaiatan Khulafaur Rasyidin dapat disimpulkan, bahwa baiat itu harus dilakukan oleh mereka yang merepresentasikan kaum Muslim. Jadi, masalahnya bukan semata-mana siapa yang dibaiat paling awal, tetapi siapa yang paling awal dibaiat oleh mereka yang mencerminkan mayoritas atau bahkan seluruh kaum Muslim yang menjadi rakyat Daulah Khilafah. Masalahnya adalah mengangkat Khalifah, bukan kompetisi dalam Khilafah. Jika tidak, orang yang menginginkan Khilafah akan berpacu agar dibaiat lebih awal atau mengaku dibaiat lebih awal, meski hanya oleh sejumlah orang atau daerah yang tidak mencerminkan mayoritas kaum Muslim. Yang demikian dapat menyebabkan dharâr bagi umat.
Jika keduanya hanya dibaiat oleh sekelompok kecil dari umat dan tidak merepresentasikan mayoritas umat, atau jika tidak diketahui mana yang lebih dulu dan yang lebih akhir, atau keduanya dibaiat pada waktu bersamaan, maka Khilafah tidak terakadkan kepada siapapun dari keduanya. Tidak bisa juga diserahkan kepada keduanya untuk berembug siapa yang menjadi khalifah, karena baiat bukan milik mereka. Al-Khathib asy-Syarbini menyatakan, “Hak dalam Imamah/Khilafah adalah milik kaum Muslim, bukan milik keduanya. Karena itu, klaim keduanya tentang siapa yang lebih awal tidaklah bisa diterima. Jika salah satu mengakui baiat yang lain, maka batallah hak orang itu, dan tidak bisa ditetapkan hak Khilafah kepada yang lain itu kecuali dengan bukti.”[7]
Tidak bisa juga diundi di antara keduanya, karena baiat adalah akad, dan undian tidak ada tempatnya dalam akad. Akan tetapi, perkaranya dikembalikan kepada kaum Muslim. Keduanya ditetapkan sebagai calon dan disodorkan kepada kaum Muslim atau wakil-wakil mereka untuk dipilih sebagai khalifah. Siapa yang mendapat dukungan terbanyak, dialah yang dibaiat sebagai khalifah.
Semua ketentuan di atas adalah dalam kondisi ada Daulah Khilafah dan hendak diangkat seorang khalifah menggantikan khalifah sebelumnya. Jika Khilafah tidak ada seperti saat ini, maka masalahnya adalah kewajiban mewujudkan Daulah Khilafah itu dan mengangkat seorang khalifah melalui baiat. Jika sekelompok kaum Muslim di suatu wilayah negeri Islam membaiat seseorang, ia sah sebagai khalifah asal memenuhi syarat berikut: (1) memenuhi syarat in‘iqâd (legalitas) Khilafah; (2) ada wilayah yang jelas dan rakyatnya; (3) keamanan dan kekuasaan di wilayah itu berada di tangan kaum Muslim, bukan dikendalikan oleh asing; (4) Khalifah itu harus langsung menerapkan sistem (syariat) Islam secara menyeluruh dan sekaligus, tidak ditunda ataupun bertahap.
Read More…
Hadis ini diriwayatkan Imam Muslim dari Wahab bin Baqiyyah al-Wasithi, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abi Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Abu Awanah[2] meriwayatkan hadis ini dari Abu Umayah, dari Amru bin Awn al-Wasithi, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Al-Baihaqi[3] meriwayatkannya dari dua jalur: Pertama: Dari Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin Ubaid ash-Shafar, dari Ibn Abi Qumasy, dari Amru bin Awn, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri. Kedua: Dari Abu Abdillah al-Hafizh, dari Abu Bakar bin Abdillah, dari Hasan bin Sufyan, dari Wahab bin Buqiyyah, dari Khalid bin Abdillah, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudzri.
Al-Qadhai[4] meriwayatkannya dari Abu Muhammad Abd ar-Rahman bin Umar bin an-Nihas, dari Abu Said bin al-A‘rabi, dari Abu Ishaq Ibrahim bin al-Walid al-Jasyasy, dari Ali bin al-Madini, dari Abd ash-Shamad bin Abd al-Warits, dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Said bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah.
Makna Hadis dan Faedahnya
Hadis ini mengandung pengertian, jika dibaiat dua orang khalifah, maka orang yang dibaiat lebih akhir harus dibunuh. Baiat atas orang yang pertama haruslah baiat yang sah secara syar‘i. Orang kedua, baik ia mengetahui adanya baiat pertama yang sah itu ataupun tidak, disuruh menanggalkan baiatnya dan segera membaiat Khalifah yang sah itu. Jika ia menolak, kata as-Suyuthi, ia harus diperangi meski sampai ia harus dibunuh; kecuali jika ia mengumumkan pembatalan baiat atas dirinya, berhenti dari merobek kesatuan kaum Muslim dan memecah jamaah mereka, berhenti menentang khalifah yang sah, dan segera memberikan baiat taat kepadanya.
Hadis ini memerintahkan kesatuan Khilafah. Kaum Muslim hanya boleh memiliki seorang khalifah dan satu Khilafah. Haram diakadkan baiat kepada dua orang, apalagi lebih. Ibn Hazm[5] menuturkan, kaum Muslim di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam/khalifah, baik keduanya saling sepakat ataupun berselisih, di dua tempat berbeda atau di tempat yang sama. Imam an-Nawawi[6] berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”
Dari praktik pembaiatan Khulafaur Rasyidin dapat disimpulkan, bahwa baiat itu harus dilakukan oleh mereka yang merepresentasikan kaum Muslim. Jadi, masalahnya bukan semata-mana siapa yang dibaiat paling awal, tetapi siapa yang paling awal dibaiat oleh mereka yang mencerminkan mayoritas atau bahkan seluruh kaum Muslim yang menjadi rakyat Daulah Khilafah. Masalahnya adalah mengangkat Khalifah, bukan kompetisi dalam Khilafah. Jika tidak, orang yang menginginkan Khilafah akan berpacu agar dibaiat lebih awal atau mengaku dibaiat lebih awal, meski hanya oleh sejumlah orang atau daerah yang tidak mencerminkan mayoritas kaum Muslim. Yang demikian dapat menyebabkan dharâr bagi umat.
Jika keduanya hanya dibaiat oleh sekelompok kecil dari umat dan tidak merepresentasikan mayoritas umat, atau jika tidak diketahui mana yang lebih dulu dan yang lebih akhir, atau keduanya dibaiat pada waktu bersamaan, maka Khilafah tidak terakadkan kepada siapapun dari keduanya. Tidak bisa juga diserahkan kepada keduanya untuk berembug siapa yang menjadi khalifah, karena baiat bukan milik mereka. Al-Khathib asy-Syarbini menyatakan, “Hak dalam Imamah/Khilafah adalah milik kaum Muslim, bukan milik keduanya. Karena itu, klaim keduanya tentang siapa yang lebih awal tidaklah bisa diterima. Jika salah satu mengakui baiat yang lain, maka batallah hak orang itu, dan tidak bisa ditetapkan hak Khilafah kepada yang lain itu kecuali dengan bukti.”[7]
Tidak bisa juga diundi di antara keduanya, karena baiat adalah akad, dan undian tidak ada tempatnya dalam akad. Akan tetapi, perkaranya dikembalikan kepada kaum Muslim. Keduanya ditetapkan sebagai calon dan disodorkan kepada kaum Muslim atau wakil-wakil mereka untuk dipilih sebagai khalifah. Siapa yang mendapat dukungan terbanyak, dialah yang dibaiat sebagai khalifah.
Semua ketentuan di atas adalah dalam kondisi ada Daulah Khilafah dan hendak diangkat seorang khalifah menggantikan khalifah sebelumnya. Jika Khilafah tidak ada seperti saat ini, maka masalahnya adalah kewajiban mewujudkan Daulah Khilafah itu dan mengangkat seorang khalifah melalui baiat. Jika sekelompok kaum Muslim di suatu wilayah negeri Islam membaiat seseorang, ia sah sebagai khalifah asal memenuhi syarat berikut: (1) memenuhi syarat in‘iqâd (legalitas) Khilafah; (2) ada wilayah yang jelas dan rakyatnya; (3) keamanan dan kekuasaan di wilayah itu berada di tangan kaum Muslim, bukan dikendalikan oleh asing; (4) Khalifah itu harus langsung menerapkan sistem (syariat) Islam secara menyeluruh dan sekaligus, tidak ditunda ataupun bertahap.
0 Comments:
Post a Comment